Saat nama Nay dipanggil aku istighfar sebanyak banyaknya. Dag dig dug luar biasa. Apa yang aku baca di google sama persis dengan diagnose dokter.
Nay langsung drujuk ke Klinik Tumbuh Kembang, ke dokter mata, dokter ahli gizi, dokter THT agar melakukan serangkaian tes untuk mencari tahu penyebabnya.
Dari situ perjuangan bolak balik RS kami dimulai. Setiap hari menikmati antrian BPJS yang super padat. Dan kami mulai menikmati touring rumah sakit seperti ini.
Alhamdulillah.. Selama 1.5 bulan Nay terapi semua perubahan keliatan. Nay mulai aktif lagi dan aku yakin sekali penyumbatan itu sudah tidak ada lagi. Nay sudah kembali normal seperti anak-anak lainnya, dan kami tetap kontrol ke rumah sakit
Sampai suatu hari, Nay demam dan hilang kesadaran, kami pontang panting mencari RS yang ruang PICU nya kosong. Nay koma selama 48 hari dan ia akhirnya menyusul kakaknya, Kevin, di surga.
Nay kekurangan oksigen terlalu lama sehingga membuat kerusakan di otak, atropi otak. Sepanjang aku membaca artikel tentang itu aku meneteskan air mata sepanjang hari.
Sampai detik detik terakhir Nay didiagnosa sepsis, infeksinya sudah menjalan ke organ-organ vital.
Aku mendoakan Nay setiap waktu, berdoa untuk kesembuhan dan kesehatannya.
Dan saat aku melihat tubuh anakku mulai memerah (kata dokter itu pembuluh darah yang sudah mulai pecah) dan kurus serta diagnosa baru selain bronchopneumonia, aku mulai berusaha ikhlas.
Di PICU aku bertemu banyak orang. Aku bertemu banyak kisah mengharukan yang aku rasa lebih berat cobaannya dariku. Di situ aku merasa malu pernah marah pada Allah.
Dukungan teman teman baik secara fisik, materi, dan semangat lain membuat aku tetap bisa tegar.
Selama Nay di ruangan itu, sudah sekitar 30 anak yang meninggal. Dari situ aku mulai menyiapkan mental bahwa sewaktu-waktu bisa saja giliran anakku, karena mereka bilang kalau sudah masuk PICU peluang hidup ya 50%.
Setiap aku dapat kesempatan bersama Nay di PICU, aku selalu berbisik ke telinganya sambil menahan tangis.
“Dek., kalau kamu udah gak kuat.. bunda udah ikhlas sayang. Bunda ga tega lihat kamu kesakitan setiap hari, pulanglah nak.. Tapi kalo kamu masih kuat, ayo Nak kita berjuang sama-sama. Bunda sama ayah tidak pernah berhenti berdoa untuk kamu". Dan setiap kali aku berbisik, Nay menggenggam tanganku seolah-olah berat meninggalkanku.
Dan saat aku melihat tubuh anakku mulai memerah (kata dokter itu pembuluh darah yang sudah mulai pecah) dan kurus serta diagnosa baru selain bronchopneumonia, aku mulai berusaha ikhlas.
Di PICU aku bertemu banyak orang. Aku bertemu banyak kisah mengharukan yang aku rasa lebih berat cobaannya dariku. Di situ aku merasa malu pernah marah pada Allah.
Dukungan teman teman baik secara fisik, materi, dan semangat lain membuat aku tetap bisa tegar.
Selama Nay di ruangan itu, sudah sekitar 30 anak yang meninggal. Dari situ aku mulai menyiapkan mental bahwa sewaktu-waktu bisa saja giliran anakku, karena mereka bilang kalau sudah masuk PICU peluang hidup ya 50%.
Setiap aku dapat kesempatan bersama Nay di PICU, aku selalu berbisik ke telinganya sambil menahan tangis.
“Dek., kalau kamu udah gak kuat.. bunda udah ikhlas sayang. Bunda ga tega lihat kamu kesakitan setiap hari, pulanglah nak.. Tapi kalo kamu masih kuat, ayo Nak kita berjuang sama-sama. Bunda sama ayah tidak pernah berhenti berdoa untuk kamu". Dan setiap kali aku berbisik, Nay menggenggam tanganku seolah-olah berat meninggalkanku.
Dan akhirnya...
EmoticonEmoticon