Mendengar kalimat itu, mata sang ibu berbinar sumringah. Binar bahagia itu semakin bertambah hingga kedua insan itu pulang. Sang anak mengantarkan ibunya ke kediamannya, sementara ia kembali ke rumahnya.
Waktu-waktu selepas itu, adalah waktu menuggu nan membahagiakan bagi sang ibu. Ditungguilah ponselnya guna berharap panggilan dari anaknya. Sementara itu, di belahan tempat lain, sang anak tetap sibuk dengan dunia, pekerjaan dan kehidupannya. Ia, benar-benar lupa dengan janji yang diungkapkannya sendiri.
Lantaran usia yang menua, sang ibu pun sakit. Makin hari, bertambah parah sakitnya. Alasan sibuk pun membuat Fulan tak kunjung membesuk ibunya. Hingga akhirnya, wanita berhati lembut itu wafat sebelum sang anak sempat menjenguknya.
Proses pemakaman pun berlangsung dengan lancar. Ada haru nan pilu yang menelisik ke dalam hati Fulan. Perasaan bersalah selalu datang belakangan. Andai perasaan itu bisa datang lebih dulu, mungkin saja ia akan bisa menebus dosanya.
Lepas pulang dari pemakaman, ponselnya bergetar. Diangkatklah oleh si Fulan. Tertera dalam layar, pemanggil adalah ruma makan tempat ia dan ibunya makan malam tempo hari. “Halo, Pak Fulan,” ucap suara dari seberang. Lepas disahut, penelepon melanjutkan, “Maaf, Pak. Dalam catatan kasir kami, bapak telah memesan tempat makan malam untuk dua orang. Tagihannya suda dibayar oleh Ibu anda.”
Entahlah apa yang dirasa olehnya. Tanpa penutup, dimatikanlah ponselnya sembari bergegas menuju rumah makan tersebut. Sesampainya di sana, sang kasir menyerahkan sebuah pesan tertulis tangan. Dari sang ibu. Tertera di dalamnya, “Nak, aku mengerti. Malam ini adalah makan malam terakhir kita. Meski kau sampaikan akan ada yang kedua, aku tak terlalu yakin. Maka, makanlah bersama istrimu. Aku sudah membayarnya untumu dengan uang Ibu.”
“Ibu, Ibu, Ibu,” demkianlah pesan Rasulullah Saw. Sosok mulia itu harus didahulukan dari sosok bapak. Sosok ibu adalah mutiara kebaikan nan tak tergantikan. Selalu ada mutiara yang bisa digali darinya. Pasti ada hikmah dari wanita yang mungkin saja, sudah kita sia-siakan sejak lama.
Rabbi, ampuni dosa kami, dosa bapak dan ibu kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami di masa belia. [Pirman]
*Disadur bebas dari buku 1001 Alasan Kamu Harus Sayangi Ibumu, Monde Ariezta.
Entahlah apa yang dirasa olehnya. Tanpa penutup, dimatikanlah ponselnya sembari bergegas menuju rumah makan tersebut. Sesampainya di sana, sang kasir menyerahkan sebuah pesan tertulis tangan. Dari sang ibu. Tertera di dalamnya, “Nak, aku mengerti. Malam ini adalah makan malam terakhir kita. Meski kau sampaikan akan ada yang kedua, aku tak terlalu yakin. Maka, makanlah bersama istrimu. Aku sudah membayarnya untumu dengan uang Ibu.”
“Ibu, Ibu, Ibu,” demkianlah pesan Rasulullah Saw. Sosok mulia itu harus didahulukan dari sosok bapak. Sosok ibu adalah mutiara kebaikan nan tak tergantikan. Selalu ada mutiara yang bisa digali darinya. Pasti ada hikmah dari wanita yang mungkin saja, sudah kita sia-siakan sejak lama.
Rabbi, ampuni dosa kami, dosa bapak dan ibu kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami di masa belia. [Pirman]
*Disadur bebas dari buku 1001 Alasan Kamu Harus Sayangi Ibumu, Monde Ariezta.
Sumber: http://kisahikmah.com/kisah-mengharukan-makan-malam-terakhir-bersama-ibu/
EmoticonEmoticon